Berita
Baca Berita
Ayah Bunda, pada umumnya dapur adalah area khusus milik seorang ibu. Di sebagian besar negara di Asia, tugas memasak makanan di dapur lebih banyak dipegang oleh sang ibu ketimbang sang ayah. Ibu dianggap memiliki cita rasa yang tinggi dikarenakan perasaannya yang lembut dan penuh kreativitas.
Karena alasan di atas, ibu menjadi “penguasa” di dapurnya. Bahkan tidak jarang, perabotan dapurnya tidak boleh disentuh oleh anggota keluarga yang lain, apalagi anak-anak yang belum pandai menggunakannya. Padahal, dapur bisa menjadi sarana belajar yang asyik untuk pengembangan disiplin dan tanggung jawab bagi anak-anak. Dapur dengan segala aktifitas dan fasilitasnya dapat menjadi “sekolah” untuk mengasah tanggung jawab sekaligus kreatifitasnya.
Ayah bunda, terkadang kita merasa kesulitan untuk menanamkan rasa tanggung jawab dan kemandirian kepada anak-anak kita, salah satunya tanggung jawab dan kemandirian terkait dengan masalah makan dan urusan dapur.
Banyak anak yang jika ingin makan, maunya makanan langsung ada terhidang di hadapan lengkap dengan lauk kesukaannya. Mereka tidak mau tahu bagaimana makanan bisa tersedia? Darimana dan dengan cara apa makanan itu didapat? Mereka tahunya hanya meminta makanan, dan dengan “simsalabim abra kadabra” menu kesukaannya harus terhidang di hadapannya.
Keadaan buruk seperti ini menjadi sangat mengkhawatirkan, karena bukan tidak mungkin akan terus melekat hingga sang anak tumbuh dewasa. Saat dewasa anak menjadi pragmatis. Kalau meminjam istilah anak muda sekarang itu “nge-bossy”. Malas bekerja, tapi maunya segala fasilitas selalu ada. Dan parahnya, semakin ke mari, ternyata fenomena seperti itu semakin jamak ditemukan. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, pernah terjadi ada seorang anak tega membunuh ayahnya hanya karena ayahnya belum sanggup membelikannya sepeda motor. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Nah, ayah bunda, kita tentu tidak ingin kejadian di atas menimpa anak kita. Kita justru ingin agar anak-anak kita menjadi anak yang mandiri dan bertanggung jawab sejak mereka masih kecil. Dan ini bisa dibiasakan. Bisa dipersiapkan. Insya Allah.
Alangkah indahnya, andaikan di pagi hari saat seorang ibu sibuk mempersiapkan sarapan pagi di dapur, anak kita datang membatu. Mengupaskan bawang, memotong sayuran, mengocok telur, atau hanya duduk menyaksikan dan menemani bunda di dapur, itu sudah menjadi hiburan tersendiri buat bunda.
Untuk mewujudkan hal di atas, mari kita coba ikhtiar kecil berikut:
1. Saat anak meminta makan, usahakan jangan memberinya secara instan. Biarkan ia mengambil piring dan sendoknya sendiri.
2. Jika anak meminta seuatu yang perlu dimasak terlebih dahulu, misalnya telur dadar atau apa saja. Usahakan anak disertakan sewaktu proses pembuatannya. Mungkin ia bisa membantu mengocok telurnya, atau sekedar memegangi wadahnya atau apa saja yang bisa anak lakukan.
3. Sambil proses memasak berjalan, ajari mereka cara-caranya. Cara memotonng sayur yang benar. Cara mengiris bawang yang baik. Cara memecahkan telur yang benar dan sebagainya.
4. Jika ayah bunda masih khawatir dengan keselamatannya. Mungki ayah bunda khawatir tangan anaknya terkena pisau dan sebagainya, cukup ajak mereka mengobrol tentang manfaat atau darimana makanan itu diperoleh.
5. Libatkan anak dalam proses sehingga makanan yang mereka inginkan dapat terhidang. Jangan sampai anak tahunya hanya meminta, kemudian mereka menunggunya sambil main hp atau menonton televisi, tahu-tahu makanan sudah tersedia. Ini akan membuat anak akan selalu berfikir segala sesuatu bisa didapatkan secara instan. Padahal semuanya perlu proses. Mereka harus memahami itu. Wallahu a’lam.
Oleh: Cep Wiharja, S.Pd
Copyright © 2020 Yayasan Al-Mumtaz Pontianak. all rights reserved.